Friday, July 1, 2011

Kelenteng Boek Tek Bio

Kedatangan orang Tionghoa pertama kali ke Tangerang belum diketahui secara pasti. Sebuah kitab sejarah Sunda berjudul: “Tina Layang Parahyang” (Catatan dari Parahyangan-red.), menceritakan tentang mendaratnya rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) pada tahun 1407 di muara sungai Cisadane yang sekarang kemudian disebut orang sebagai Teluk Naga. Saat itu pusat pemerintahan berada di sekitar pusat kota sekarang, yang diperintah oleh Sanghyang Anggalarang selaku wakil dari Sanghyang Banyak Citra dari Kerajaan Parahyangan. Perahu rombongan Halung terdampar dan mengalami kerusakan juga terancam kehabisan perbekalan. Daerah tujuan yang semula ingin dikunjungi adalah Jayakarta. Kemudian mereka membawa tujuh kepala keluarga dan diantaranya terdapat sembilan orang gadis dan anak-anak kecil. Mereka kemudian menghadap Sanghyang Anggalarang untuk minta pertolongan. karena gadis-gadis yang ikut dalam rombongan itu cantik-cantik, para pegawai Anggalarang jatuh cinta dan akhirnya kesembilan gadis itu dipersuntingnya. Sebagai kompensasinya, rombongan Halung diberi sebidang tanah pantai utara Jawa di sebelah timur sungai Cisadane, yang sekarang disebut Kampung Teluk Naga.


Berdirinya Kelenteng Boen Tek Bio diperkirakan sekitar tahun 1684. Para penghuni perkampungan Petak Sembilan secara gotong-royong mengumpulkan dana untuk mendirikan sebuah kelenteng yang diberi nama Boen Tek Bio. (Boen = Sastra, Tek = Kebajikan, Bio = Tempat Ibadah). Bio yang pertama berdiri diperkirakan masih sederhana sekali yaitu berupa tiang bambu dan beratap rumbia. Awal abad ke-19 setelah perdagangan di Tangerang meningkat, dan umat Boen Tek Bio semakin banyak, kelenteng ini lalu mengalami perubahan bentuk seperti yang bisa dilihat sekarang. Gelombang kedua kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang diperkirakan terjadi setelah peristiwa pembantaian orang Tionghoa di Batavia tahun 1740, di sebuah tempat yang kini menjadi Taman Fatahillah. Pembantaian tersebut terjadi karena pertikaian antara penduduk pribumi dan warga Tionghoa yang diadu domba oleh Belanda, karena pihak kolonial cemas bahwa warga Tionghoa yang banyak bersahabat dengan penduduk pribumi akan mengalahkan mereka dalam perdagangan serta menyulut pemberontakan melawan penjajah. VOC yang berhasil memadamkan pemberontakan tersebut mengirimkan orang-orang Tionghoa ke daerah Tangerang untuk bertani. Belanda mendirikan pemukiman bagi orang Tionghoa berupa pondok-pondok yang sampai sekarang masih dikenal dengan nama: Pondok Cabe, Pondok Jagung, Pondok Aren dan sebagainya. Di sekitar Tegal Pasir (Kali Pasir) Belanda mendirikan perkampungan Tionghoa yang dikenal dengan nama Petak Sembilan. Perkampungan ini kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan dan telah menjadi bagian dari Kota Tangerang. Daerah ini terletak di sebelah timur sungai Cisadane, daerah Pasar Lama sekarang.

Patung Hok Tek Tjeng Sien (Dewa Bumi) di ruang utama klenteng, dengan patung Bie Lek Hud di bagian depan. Bi Lek Hud, atau Mi Le Fo dan dalam bahasa sanskerta disebut Maitreya yang berarti “Yang Maha Pengasih dan Penolong”, adalah salah satu dewa yang sangat dihormati.

Sebuah hiasan gantung bergambar naga yang indah

Tempat pembakaran yang dibuat pada abad 19

Kelenteng Boen Tek Bio mempunyai sebuah tradisi yang sudah berlangsung selama ratusan tahun, yaitu yang dikenal dengan nama Gotong Toapekong. Setiap 12 tahun sekali yaitu saat tahun Naga menurut kalendar Tionghoa, di dalam Kota Tangerang berlangsung arak-arakan joli Ka Lam Ya, Kwan Tek Kun dan terakhir Joli Ema Kwan Im. Pesta tahun Naga ini dimeriahkan oleh pertunjukan Barongsai dan Wayang Potehi yang berhasil menyedot ribuan pengunjung.
Disamping acara gotong Toapekong, sejak tahun 1911 para umat Boen Tek Bio menyelenggarakan pesta Petjun yang diadakan di Kali Cisadane, yaitu perlombaan balap perahu naga. Perlombaan ini berlangsung sekitar bulan Mei-Juni saat musim kemarau dimana air sungai jernih dan tenang. Setelah peristiwa G-30 S/PKI, acara Petjun dilarang pemerintah. 
Kelenteng ini mendapat 11 rekor MURI, beberapa di antaranya adalah kelenteng dengan lampion terbanyak & dengan lilin dupa terbesar.













lonceng tua di halaman kelenteng yang berasal dari Tiongkok dan dibuat tahun 1835
salah satu rekor MURI yang diperoleh Kelenteng ini adalah karena Hio terpanjang-nya



atap pagoda
burung Feng Huang atau Phoenix dikenal dapat hidup hingga ratusan tahun,  konon dipercaya saat mati burung ini membakar dirinya sendiri, kemudian dari abunya muncul telur Feng Huang baru. J.K Rowling bahkan mengambil cerita legenda ini & memasukkannya dalam cerita Harry Potter.

patung singa dengan anaknya sebagai penjaga pintu depan 



No comments:

Post a Comment