Sunday, April 3, 2011

ALL ABOUT FOOD WITH HELLO INDONESIA MAGAZINE

Acara dimulai pukul lima sore di Pacific Place, namun saya, Ibu Arimbi Nimpuno (Ahli Tata Saji) dan Yudi serta Herman telah menyiapkan makanan jauh sebelum acara dimulai. Ketika saya diminta untuk mengisi acara ini, tujuannya adalah untuk berbagi. Berbagi resep? Tidak. Ini lebih dari itu. Saya kemudian menjelaskan hal yang harus kita pahami tentang memasak, bahwa ada hal yang begitu mayor dibandingkan bahan-bahan apa saja yang akan kita gunakan, bumbu dan rempah apa yang akan membalutnya, lalu soal satuan ukuran, gram, milliliter, dan sebagainya. Latar belakang, merupakan hal yang sering kita lewatkan. Padahal melalui latar belakanglah, kita bisa memilah apa saja yang akan digunakan untuk memasak. Mengapa? Karena tidak semua bahan dapat dicampur-adukkan. Setiap sayur, setiap daging juga rempah, begitu kaya akan perbedaan sesuai dengan dari mana mereka didatangkan. Jika saja kita mengetahui serta memahami di mana kekuatan serta kelemahan mereka, dan mengkombinasikannya agar saling berpadu dalam satu piring, itu akan menjadi lebih dari sekedar sajian.

And when comes to Indonesian Culinary, begitu banyak yang belum kita kenal. Salah satunya adalah mengenai “place of origin”. Contohnya: kita disini jika menyebut singkong, ya hanya singkong. Sementara orang Singapore menyebut scallop lengkap dengan nama place of origin-nya, Hokkaido Scallop. Lalu mengapa place of origin itu begitu penting? Mengapa juga harus kita pelajari? 

 







Pada saat kita mulai mempertimbangkan bahwa place of origin memiliki aspek yang begitu penting, saat itu jugalah kita tidak hanya memasukkan makanan ke dalam mulut untuk mengecap dan menelannya, kita seperti dipaksa untuk mengetahui betapa setiap makanan memiliki ciri khas rasa yang berasal kondisi geografis tanahnya, kandungan mineral dalam tanah, serta kondisi iklim. Yang kedua, mengapa harus kita pelajari? Kita orang Indonesia, kadang terlalu malas untuk mengedukasi diri sendiri. Negeri kita dilimpahi begitu banyak varian sayuran, rempah dan buah, inilah yang kemudian membuat kita bersikap take if for granted atau kurang menghargai. Kita tidak tahu makanan yang tersedia di piring kita berasal dari mana, kita biasanya cuma tahu ‘enak’ dan ‘tidak enak’. Tanpa disadari kita membatasi diri kita dari pengenalan lebih dalam tentang makanan. Klasifikasi makanan tentu saja berasal variasi rasa dan teksturnya, dan semua itu tentu saja berasal dari latar belakang place of origin. Seperti wine, dengan berbagai taste serta aromanya, belum lagi termasuk the after-taste yang mereka tinggalkan di rongga mulut kita. Mengapa? Lagi-lagi jawabannya adalah place of origin. Yang menjadi begitu penting, yaitu dengan bekal mengetahui latar belakang place of origin sebuah makanan, kita dapat mengatur penyesuaian menu agar bobot rasa masing-masing makanan tidak tumpang tindih dan tidak berkompetisi untuk saling mendominasi. Mengatur bumbu apa yang sesuai dengan rasa makanan juga merupakan hal yang harus kita kuasai. Karena tekstur makanan perlu beradaptasi dengan bobot rasa bumbu yang akan digunakan untuk membalutnya.


Kemudian untuk penyajian makanan seperti tapas, kita dapat menyilangkan tradisi luar negeri untuk masakan nusantara kita. Misalnya, seperti menggunakan udang sebagai shrimp cocktail yang disajikan bersama Asinan Jakarta, atau French Bread sebagai canapé dengan Dendeng Padang di atasnya. Bisa juga singkong atau tape kita lunakkan dan digoreng dengan tepung panir serta berisi keju di dalamnya. Artinya penyilangan tradisi merupakan hal yang sah selama itu tidak menghilangkan identitas masing-masing makanan dengan place of originnya.

Jangan pernah takut mencoba hal-hal yang berada di luar jangkauan kita, apalagi dalam dunia kuliner yang dikenal tanpa batas. After all, bahkan seorang Pablo Picasso konon pernah berkata “Everything you can imagine, is real.”

1 comment:

  1. Inspiratif, oom, tulisannya, terima kasih. Berguna sekali. Saya kini semakin "mengerti" bagaimana cara memperlakukan makanan dengan baik.

    Saya ini hanya gemar saja memasaknya, oom, bukan keahlian. Jadi seringkali saya memasak tanpa mempertimbangkan dengan teliti mengenai takaran-takarannya. Saya hanya menggunakan feeling. Apakah cara itu kurang tepat?

    Dan apakah lidah kita bisa dilatih untuk mengenali perbedaan bahan-bahan dari mana saja berasalnya?

    ReplyDelete